inga'

iso-ga' iso seng penting belajar

Hujjatul Islam

IMAM AL-GHAZALI

Pemikir yang unik dan melegenda dalam dunia intelektual Islam

Ketika itu nama Ghazali sedang melangit. Boleh dibilang ia menjadi ‘imam’ atau anutan ulama dan intelektual pada masanya. Karena reputasinya itu, Perdana Menteri Nizham al-Mulk mengang- katnya menjadi guru besar dan Rektor Madrasah Nizamiyah di Bagdhat Iraq. Tentu saja sejumlah fasilitas menggiurkan mengirin- gi jabatan yang terhormat itu.

Kecenderungan umum, orang tentu ingin mempertahankan jabatan yang strategis itu. Tetapi tidak dengan Gazali. Setelah 5 tahun (1090-1095) memangku jabatan itu, tiba-tiba ia mengundurkan diri. Kawan-kawan dan murid-muridnya tentu saja kaget dengan pengundur- an diri Ghazali yang mendadak itu. Tidak ada tekanan dari pengua- sa agar ia mundur dari jabatannya. Apalagi setelah itu Ghazali menjalani hidup sebagai sufi yang fakir dan zuhud dunia. Sungguh itu bertolak belakang dengan reputasi dan fasilitas hidup yang dimilikinya. Apakah yang engkau cari, Ghazali?

Reputasi, pangkat dan kedudukan itu tidak mampu membuatnya tenang. Ada sebuah pertanyaan yang sederhana tapi mendasar, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?” Pertanyaan inilah yang mengusik kalbunya. Ia jadi ragu dan jiwanya gelisah, ingin mencari kebenaran.

Keragu-raguan itulah yang menyebabkan ia meletakkan jaba- tannya itu. Lantas, ia meninggalkan Baghdad mengembara dari suatu tempat ke tempat lain, setelah meninggalkan bekal secukupnya kepada keluarganya. Pada akhirnya ia kemudian menetap di Damaskus Siria. Di sini ia menjalani hidup sebagai seorang sufi yang fakir dan zuhud dunia.

Selama 10 atau 11 tahun Ghazali mengisolasi diri dari hiruk pikuk dunia. Dan selama itu pula ia merampungkan beberapa kitab. Kitabnya yang paling memumental adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini sampai sekarang dikenal luas dalam dunia intelektual Islam.

PERKEMBANGAN SPIRITUAL. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Lahir pada 450 H/1058 M di Thus (sekarang dekat Meshed) Iran. Ayahnya seorang pengrajin wol dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus.

Menurut pengakuan Ghazali yang termuat dalam bukunya Al- munqidz min al-Dhalat (pembebas dari kesesatan), sejak remaja ia sudah mempunyai jiwa yang skeptis dan kritis. Jiwa semacam inilah yang mendorongnya mencari ilmu ke pelbagai guru dan tempat, untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.

Ia memang akhirnya menguasai berbagai ilmu secara mendalam. Namun perasaan ragu senantiasa mengusiknya. Yang ia inginkan adalah keyakinan (kebenaran) yang sampai ke tingkat matematis — seperti keyakinan bahwa bilangan sepuluh lebih besar dari tiga — yang tak tergoyahkan lagi oleh intimidasi apa pun.

Ia sudah mencobakan pelbagai sumber pengetahuan yang biasa dipergunakan para intelektual waktu itu, seperti: akal dan in- dera, teks-teks al-Qur’an dan hadits, dan postulat-postulat yang umum diterima masyarakat waktu itu. Hasilnya, semua itu diragukan kredibilitasnya sebagai sumber-sumber pengetahuan yang menyakin- kan baginya.

Termasuk teks-teks al-Qur’an dan hadits yang diambil penger- tian lahirnya, karena masih adanya pertentangan pendapat dengan dalil yang sama. Demikian juga indera dan akal. Indera mata (indera yang terkuat pada manusia) diragukan kredibilitasnya, karena kasus pengamatan terhadap bayang-bayang sesuatu yang dikiranya tetap di tempat, padahal bergerak secara gradual. Kredibilitas akal diragukan, karena adanya kasus mimpi yang menganggap adanya sesuatu, tetapi setelah terjaga, sesuatu itu sebenarnya tidak ada wujudnya.

Dengan tertolaknya kredibilitas kedua sumber pengetahuan itu — indera dan akal–, Ghazali merasa tak punya pegangan lagi. Ia frustasi. Sungguh hampir tidak bisa dipercaya, seorang Ghazali yang menguasai banyak ilmu secara mendalam itu, mengalami frusta- si. Krisis kejiwaan ini berlangsung dua bulan.

Alhamdulillah, Allah kemudian menolong dirinya. Ia selamat dari krisis kejiwaan yang berkepanjangan, setelah mendapat ilham dari Allah langsung yang berisi agar dia tetap meyakini kredibil- itas pikiran dharuri sebagai dasar pengetahuan yang menyakinkan.

Tapi Ghazali tidak berhenti di situ. Ia mencari lagi kebe- naran hakiki. Dengan berpegang kepada kredibilitas pikiran dharuri, ia mulai melangkah meneliti secara partisipan terhadap empat golongan yang dianggapnya masing-masing mempunyai metode tersen- diri dalam usaha memperoleh pengetahuan mengenai hakekat segala sesuatu. Keempat golongan itu adalah golongan teolog (mutakallimun), golongan Bathiniyyah, golongan filsuf dan golongan sufi.

Pertama-tama, Ghazali mengikuti kegiatan para teolog. Tetapi dimatanya, para teolog itu hanya sibuk mengumpulkan argumen- argumen lawan pahamnya, untuk dibantah dengan argumen sendiri yang dianggap lebih rasional. Memang, menurutnya, kalam hanya berpretensi untuk membentengi secara rasional akidah yang benar, yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Namun untuk menumbuhkan akidah yang benar pada ummat yang belum atau tidak menganutnya, kalam tidak bisa dipercaya berhasil melakukannya. Metode ini tidak memuaskan Ghazali, lantas ia tinggalkan.

Selanjutnya, Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Secara otodidak, ia pun mempelajari filsafat. Dengan kecerdasannya, hanya dua tahun ia berhasil menguasai filsafat sampai ke detail-detailnya. Bahkan ia mampu membongkar kelemahan-kelemahan filsafat sebagai metode untuk mencari kebenaran.

Di dalam bukunya Tahafut al-Fasasifah (Kerancuan Para Fil- suf) menguraikan panjang lebar tentang kelemahan filsafat. Buku ini, isinya bermaksud menghancurkan reputasi para filsuf di mata ummat, karena adanya kerancuan pemikiran mereka sehingga berten- tangan dengan akidah Islam.

Tahafut al-Falasifah benar-benar mengangkat nama Ghazali dalam bidang filsafat, sehingga ia digelari sebagai filsuf Islam. Soalnya, sebelumnya tidak ada seorang teolog pun yang mampu menghantam pemikiran para filsuf dengan senjata mereka sendiri, logika.

Ghazali pun meninggalkan metode para filsuf, untuk kemudian beralih ke kalangan Bathiniyyah. Ia pelajari segala aspek ajar- annya. Menurut Ghazali, golongan ini menolak kredibilitas akal dalam masalah agama, karena pertentangan-pertentangan pendapat yang dihasilkannya. Karena itu, mereka hanya berpegang kepada ajaran dari imam yang ma’shum (terbebas dari kesalahan), yang menerima ajarannya langsung dari Allah melalui Nabi Muhammad.

Mengikuti metode mereka ini, Ghazali pun mencari-cari di mana gerangan imam yang ma’shum itu berada, untuk diperoleh ajaran-ajarannya. Ternyata tidak bisa ditemukan. Lantaran itu, Ghazali berkesimpulan bahwa para pengikut Bathiniyyah dalam keadaan tertipu. Pernyataan Ghazali itu termuat dalam bukunya Badaih al-Batiniyyah (Kesalahan-Kesalahan Kaum Batiniah).

Atas jasa-jasa Ghazali membantah pernyataan kaum filsuf dan Bathiniyyah itu, oleh para ulama Ghazali kemudian digelari hujjatul Islam, artinya pembela Islam.

Sesuai dengan kata yang dipakai, hujjah (argumen), maka orang yang diberi gelar hujjatul Islam, artinya ia telah berhasil menangkis serangan-serangan yang ditujukan untuk mengacaukan ajaran Islam. Tangkisan itu berupa –tentu saja — argumen yang tak terpatahkan lagi oleh lawan.

Tinggal satu metode yang belum dipraktekkan Ghazali dalam usahanya mencari pengetahuan tentang hakekat kebenaran. Yakni metode milik para sufi, yang terdiri dari dua aspek: ilmu dan amal. Dari segi ilmu, tidak ada masalah, karena ia sudah memili- kinya. Yang justru terasa berat, menurutnya, justru pada pengama- lannya. Karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mulai mempraktekkannya. Di antaranya: memalingkan diri dari segala rupa kemulian status dan harta-benda, dan menjauhkan diri dari segala rupa ikatan dan kesibukan yang menuju ke sana.

Padahal Ghazali saat itu sedang tenggelam dengan segala rupa ikatan dan kesibukannya itu. Malah ia merasa bahwa motivasi memberi kuliah dan kegiatan ilmiah lainnya, tidak ikhlas karena Allah. Tetapi untuk memperoleh kemulian status dan ketenaran nama. Dan memang itu diperolehnya, dengan dijabatnya guru besar dan rektor.

Terjadi benturan hebat di dalam diri Ghazali, antara tarikan duniai dengan segala kemewahan yang telah dinikmatinya dengan tuntutan jiwa untuk mendapatkan pengetahuan yang menyakinkan, yang telah dicarinya beberapa tahun. Untuk yang kedua kalinya Ghazali mengalami krisis kejiwaan. Bahkan yang kedua ini lebih berat, berlangsung selama 6 bulan. Saking beratnya krisis itu, Ghazali jatuh sakit. Lidahnya untuk beberap lama kejang, tidak bisa bersuara.

Ketika para dokter angkat tangan, Ghazali lantas menyerahkan jiwanYA kepada Allah dan berdo’a mohon petunjukNya. Kiranya, Allah mendengar do’a hambanya yang sungguh-sungguh sedang mencari kebenaran ini. Ghazali diberi keringanan hati untuk meniggalkan segala kesibukan dan kemewahan hidup.

Dalam usia yang relatif muda, 48 tahun, Ghazali mulai menja- lani laku sebagai seorang sufi yang fakir dan zuhud dunia. Untuk menjalani hidup sufi itu, ia menetap di Damaskus Siria. Mula-mula ia melakukan uzlah (isolasi diri), khalwah (menyepi dengan ibadah), riyadhah (melatih diri dengan segala sifat yang baik dan meninggalkan segala sifat yang tercela) dan mujahadah (berjuang melawan tarikan haewa nafsu). Semuanya dilakukan dalam rangka pembersihan jiwa, pendidikan akhlak dan pengisian hati dengan ingat (dzikir) kepada Allah.

Selama lebih kurang 10 atau ll tahun ia melakukan praktek sufisme secara intensif. Selama itu pula ia memperoleh banyak pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu yang berke- naan dengan akidah, sebagaimana dicarinya selama ini. Akhirnya, Ghazali berkesimpulan bahwa metode para sufi adalah metode yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan sampai pada tingkat matematis.

Pada tahun 499 H/1106 M, Ghazali baru keluar dari ‘uzlah dan zawiyah-nya. Ummat Islam saat itu sedang mengalami dekadensi moral serius, termasuk ulamanya. Sehingga Ghazali merasa terpanggil dengan keadaan itu. Ia kemudian, atas permintaan Perdana Menteri Fakhr al-Mulk (putera Nizham al-Mulk) kembali mengajar di Madra- sah Nizhamiyyah. Namun ia tidak lama di sini, karena ia lebih tertarik membangun sebuah madrasah sendiri di daerah kelahir- annya, Thus.

Di madrasahnya itulah Ghazali menjalani masa-masa akhir hidupnya, dengan mengajarkan sufi dan menyediakan sebuah khankah untuk tempat pratikum para sufi. Ghazali akhirnya meninggal pada 14 Jumadal-Akhir 505 H atau 19 Desember llll M, dalam usia 53 tahun.

Filed under: Uncategorized

Tinggalkan komentar

Laman

Arsip